Welcome to My Page Hope U Get A Lot Of Fun :)
Animated Pictures Myspace Comments

Rabu, 15 Desember 2010

pendapatan nasional

untuk kelas X, ini gue ada materi tentang PN plus contoh kasusnya.

1. Sejarah
Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi selama satu tahun.
Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional Inggris pada tahun 1665. Dalam perhitungannya, ia menggunakan anggapan bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama setahun. Namun, pendapat tersebut tidak disepakati oleh para ahli ekonomi modern, sebab menurut pandangan ilmu ekonomi modern, konsumsi bukanlah satu-satunya unsur dalam perhitungan pendapatan nasional. Menurut mereka, alat utama sebagai pengukur kegiatan perekonomian adalah Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP), yaitu seluruh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh negara yang bersangkutan diukur menurut harga pasar.
2. Konsep
Berikut adalah beberapa konsep pendapatan nasional
• Produk Domestik Bruto (GDP)
Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor.




• Produk Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.
• Produk Nasional Neto (NNP)
Produk Nasional Neto (Net National Product) adalah GNP dikurangi depresiasi atau penyusutan barang modal (sering pula disebut replacement). Replacement penggantian barang modal/penyusutan bagi peralatan produski yang dipakai dalam proses produksi umumnya bersifat taksiran sehingga mungkin saja kurang tepat dan dapat menimbulkan kesalahan meskipun relatif kecil.
• Pendapatan Nasional Neto (NNI)
Pendapatan Nasional Neto (Net National Income) adalah pendapatan yang dihitung menurut jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Besarnya NNI dapat diperoleh dari NNP dikurang pajak tidak langsung. Yang dimaksud pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain seperti pajak penjualan, pajak hadiah, dll.
• Pendapatan Perseorangan (PI)
Pendapatan perseorangan (Personal Income)adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun. Pendapatan perseorangan juga menghitung pembayaran transfer (transfer payment). Transfer payment adalah penerimaan-penerimaan yang bukan merupakan balas jasa produksi tahun ini, melainkan diambil dari sebagian pendapatan nasional tahun lalu, contoh pembayaran dana pensiunan, tunjangan sosial bagi para pengangguran, bekas pejuang, bunga utang pemerintah, dan sebagainya. Untuk mendapatkan jumlah pendapatan perseorangan, NNI harus dikurangi dengan pajak laba perusahaan (pajak yang dibayar setiap badan usaha kepada pemerintah), laba yang tidak dibagi (sejumlah laba yang tetap ditahan di dalam perusahaan untuk beberapa tujuan tertentu misalnya keperluan perluasan perusahaan), dan iuran pensiun (iuran yang dikumpulkan oleh setiap tenaga kerja dan setiap perusahaan dengan maksud untuk dibayarkan kembali setelah tenaga kerja tersebut tidak lagi bekerja).
• Pendapatan yang siap dibelanjakan (DI)
Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income) adalah pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan guna membeli barang dan jasa konsumsi dan selebihnya menjadi tabungan yang disalurkan menjadi investasi. Disposable income ini diperoleh dari personal income (PI) dikurangi dengan pajak langsung. Pajak langsung (direct tax) adalah pajak yang bebannya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, artinya harus langsung ditanggung oleh wajib pajak, contohnya pajak pendapatan.
3. Penghitungan
Pendapatan negara dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu:
• Pendekatan pendapatan, dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (upah, sewa, bunga, dan laba) yang diterima rumah tangga konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang diberikan kepada perusahaan.
• Pendekatan produksi, dengan cara menjumlahkan nilai seluruh produk yang dihasilkan suatu negara dari bidang industri, agraris, ekstraktif, jasa, dan niaga selama satu periode tertentu. Nilai produk yang dihitung dengan pendekatan ini adalah nilai jasa dan barang jadi (bukan bahan mentah atau barang setengah jadi).
• Pendekatan pengeluaran, dengan cara menghitung jumlah seluruh pengeluaran untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi negara, yaitu: Rumah tangga (Consumption), pemerintah (Goverment), pengeluaran investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi impor ( )
4. Manfaat
Selain bertujuan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara dan untuk mendapatkan data-data terperinci mengenai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara selama satu periode, perhitungan pendapatan nasional juga memiliki manfaat-manfaat lain, diantaranya untuk mengetahui dan menelaah struktur perekonomian nasional. Data pendapatan nasional dapat digunakan untuk menggolongkan suatu negara menjadi negara industri, pertanian, atau negara jasa. Contohnya, berdasarkan pehitungan pendapatan nasional dapat diketahui bahwa Indonesia termasuk negara pertanian atau agraris, Jepang merupakan negara industri, Singapura termasuk negara yang unggul di sektor jasa, dan sebagainya.
Disamping itu, data pendapatan nasional juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya kontribusi berbagai sektor perekomian terhadap pendapatan nasional, misalnya sektor pertanian, pertambangan, industri, perdaganan, jasa, dan sebagainya. Data tersebut juga digunakan untuk membandingkan kemajuan perekonomian dari waktu ke waktu, membandingkan perekonomian antarnegara atau antardaerah, dan sebagai landasan perumusan kebijakan pemerintah.



5. Faktor yang memengaruhi
• Permintaan dan penawaran agregat
Permintaan agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan permintaan terhadap barang-barang dan jasa sesuai dengan tingkat harga. Permintaan agregat adalah suatu daftar dari keseluruhan barang dan jasa yang akan dibeli oleh sektor-sektor ekonomi pada berbagai tingkat harga, sedangkan penawaran agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan penawaran barang-barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan dengan tingkat harga tertentu.
• Konsumsi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan nasional
Jika terjadi perubahan permintaan atau penawaran agregat, maka perubahan tersebut akan menimbulkan perubahan-perubahan pada tingkat harga, tingkat pengangguran dan tingkat kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Adanya kenaikan pada permintaan agregat cenderung mengakibatkan kenaikan tingkat harga dan output nasional (pendapatan nasional), yang selanjutnya akan mengurangi tingkat pengangguran. Penurunan pada tingkat penawaran agregat cenderung menaikkan harga, tetapi akan menurunkan output nasional (pendapatan nasional) dan menambah pengangguran.
• Konsumsi dan tabungan
Konsumsi adalah pengeluaran total untuk memperoleh barang-barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), sedangkan tabungan (saving) adalah bagian dari pendapatan yang tidak dikeluarkan untuk konsumsi. Antara konsumsi, pendapatan, dan tabungan sangat erat hubungannya. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat Keynes yang dikenal dengan psychological consumption yang membahas tingkah laku masyarakat dalam konsumsi jika dihubungkan dengan pendapatan.
• Investasi
Pengeluaran untuk investasi merupakan salah satu komponen penting dari pengeluaran agregat.






6. Contoh kasus

Jumat, 03 September 2004
Zakat dan Kebijakan Proaktif Negara

PKPU Online Secara konsep teologis, zakat, di samping menjadi faktor pembersih harta dan pengikis karakter kikir, juga berperan penting dalam mengurangi jumlah kemiskinan. Bahkan, lebih dari itu: bisa dirancang sebagai sumber pendapatan nasional yang signifikan. Signifikansi ini akan terjadi jika, pertama, penduduknya mayoritas Muslim. Dan kedua, kaum muzakkinya menyadari kewajibannya dalam mengeluarkan zakat dan para amil (pengelolanya) amanah.

Kini, dalam konteks Indonesia, idealitas sosial-ekonomi zakat diperhadapkan dengan fenomena yang cukup paradoks. Seperti kita ketahui, sejak krisis kian mengkristal pada 1998, angka kemiskinan mencapai 49,5 juta (24,4%). Sebesar 17,6% berada di perkotaan dan sebesar 31,9% ada di pedesaan. Sekitar setahun lalu (2002), terjadi penurunan menjadi 38,4 juta (18,2%). Dan meski terdapat pengurangan, angka kemiskinan di tanah air ini tetap besar jumlahnya.

Di sisi lain, negara terus dilanda problem pendapatan nasional. Data pendapatan nasional sekitar lima tahun terakhir menyuguhkan kesimpulan: selalu defisit, karena pengeluaran nasionalnya selalu lebih besar dibandingkan pendapatan. Menurut Nota Perhitungan Anggaran Negara, defisit untuk tahun anggaran 1999/2000 mencapai Rp 31.235,3 miliar. Tahun anggaran berikutnya (2000) mencapai Rp 16.132,2 miliar dan defisit untuk tahun anggaran 2001 mencapai Rp 40.485,0 miliar. Sedangkan defisit untuk tahun anggaran 2002 dan 2003, masing-masing Rp 40.453,7 miliar dan Rp 34.436,3 miliar.

Setidaknya, dua kumpulan data sosial-ekonomi itu memberi gambaran bahwa zakat relatif tidak memberikan kontribusi positif-konstruktif dalam menghadapi realitas problem sosial-ekonomi masyarakat dan negara. Lalu, apakah peran konstruktif zakat yang digambarkan dalam Alquran dan sunah itu hanyalah slogan?

Dengan bijak dan jernih kita perlu melihat, faktor apa yang menyebabkan kemelencengan dari nilai-nilai idealistik zakat itu? Jika kita cacah dari sejumlah variabel yang terkait, kita tak dapat memungkiri adanya sikap tertentu yang menyebabkan perolehan zakat masih jauh di bawah standar, yakni ketidaksesuaian jumlah perolehan zakat dibanding jumlah muzakki yang ada. Meski kini terjadi perkembangan perolehan, namun tetap terlihat keterbatasan, sehingga menyulitkan pendistribusian, terutama kepada kaum mustahiqnya.

Yang perlu kita telaah, apa yang menyebabkan perolehan zakat itu tetap terbatas? Di luar persoalan trust kaum muzakki karena masih terlihat sebagian pengelola zakat kurang amanah atau tidak transparan, tapi ada hal mendasar yang harus dicatat serius. Yaitu, prinsip ketaatan muzakki yang bersifat sukarela. Berarti, tidak adanya unsur paksa yang bersanksi secara pidana ataupun perdata bagi muzakki dalam menunaikan kewajiban zakatnya itulah faktor yang cukup dominan. Karenanya, persoalan memaksa memungut zakat menjadi hal krusial.

Dalam perspektif keagamaan, pemaksaan mengambil sebagian hak yang ada dalam diri muzakki dibenarkan. Landasannya berangkat dari Surat At-Taubah: 103. Kata-kata "khudz" yang tertera dalam ayat itu jelas-jelas bersifat imperatif: menyeru para mustahiq untuk mengambil sebagian haknya yang kebetulan dititipkan Allah melalui kaum muzakki. Perintah itu tidak mensyaratkan kondisi muzakki yang menyadari atau tidak tentang adanya sebagian harta milik kaum mustahiq itu. Bahkan, andaikan kaum mustahiq mengambilnya dengan paksa tetap dalam koridor ayat (firman Allah).

Meski demikian, koridor keagamaan tersebut akan menjadi persoalan tersendiri jika dihadapkan pada sistem hukum nasional kita. Yakni, siapa pun yang mengambil harta orang lain dengan paksa, secara terang-terangan ataupun tersembunyi, akan dikenai hukum pidana pencurian atau pemerasan. Ini berarti, kaum mustahiq tak mempunyai hak sedikit pun dalam harta yang diperoleh kaum muzakki. Benturan yuridis-formal ini menjadikan ketaatan muzakki dalam mengeluarkan hak-hak kaum mustahiq lebih bersifat etis, bahkan terserah secara mutlak bagi muzakki. Akibatnya, perolehan (pengumpulan) zakat akan selamanya dibayang-bayangi keterbatasan.

Dalam konteks negara yang sedang diperhadapkan krisis multidimensi ini, zakat akan dinilai sebagai prinsip yang sama sekali tak punya komitmen sosial-ekonomi kemasyarakatan. Tidak punya kontribusi. Bisa jadi, ajaran agama tentang zakat hanyalah angin surga, menjual janji semata tanpa bukti yang lebih berarti. Atau hanyalah penggembira sesaat, karena diberikan pada saat-saat tertentu dan cenderung setahun sekali (menjelang akhir Ramadhan) dan kondisinya dapat dinilai sebagai kebaikan (amal saleh dan belas-kasihan) seorang muzakki.

Barangkat dari studi kasus tersebut, negeri kita --apalagi sedang diperhadapkan krisis pendapatan nasional dan problem kemiskinan yang tak pernah berakhir-- sebenarnya punya legitimasi formal untuk memaksa rakyat (kaum muslim muzakki). Dengan otoritas ini dan, atas nama efektivitas menagemen pengelolaan zakat, tampaknya sudah saatnya negara membuka atau mendirikan direktorat jenderal (dirjen) baru : Dirjen Zakat. Direktorat ini, seperti halnya Direktorat Pajak, akan dan harus mampu menginventarisasi potensi zakat sekaligus mengkapitalisasikannya. Dan yang lebih mendasar adalah negara punya hak memberikan sanksi perdata ataupun pidana bagi yang ingkar zakat sebagaimana yang diterapkan kepada pihak yang tidak taat pajak.

Penerapan prinsip zakat, secara dini, janganlah diartikan sebagai negara memasuki urusan keagamaan. Tapi, harus dilihat sebagai kebutuhan objektif negara terhadap problem keuangan negara yang kian kritis dan problem sosial yang tak kalah seriusnya. Zakat dapat memberikan kontribusi konstrutif untuk kepentingan publik secara nasional. Karena itu, nasionalisme yang perlu dikembangkan dan dipahami janganlah sempit hanya karena berbeda keyakinan keagamaan yang kebetulan datang dari ajaran Islam. Dengan spirit memahami realitas pluralistik, masyarakat manapun perlu merespons positif terhadap ajaran atau pemikiran yang sarat dengan dimensi pembangunan kemanusiaan. Dan negara menjadi lembaga penting untuk menghindari problem yuridis dalam upaya memaksakan implementasi zakat.

Harus diakui, gagasaan pengambilan zakat secara paksa oleh negara terhadap potensi zakat akan mengundang kontroversi. Di samping masalah paradigma tentang negara sebaiknya tidak boleh terlalu jauh memasuki wilayah keagamaan, juga masih ada alternatif lain yang dapat diharapkan dapat memaksimalisasi penggalian. Sebagai contoh, Malaysia --dengan model privatisasinya (perusahaan milik negara)-- mampu menghimpun dana muzakki secara fantastik dan terjadi trickle down effect yang cukup nyata. Yaitu, distribusi zakatnya mampu mengangkat kesejahteraan kalangan mustahiq, sehingga jumlah mustahiqnya pun kian berkurang. Di sana terlihat proses pemberdayaan ekonomi umat secara berarti. Sementara, Singapura --dengan model providence fund-- mampu mengumpulkan dana sosial dari para aghniya Muslim untuk meningkatkan kesejehteraan masyarakat muslim yang tertinggal ekonominya.

Campur tangan Pemerintah ternyata cukup efektif menyadarkan para muzakkinya dan efeknya kena : upaya mengatasi problem kemiskinan rakyatnya, terutama lapisan Muslim, secara perlahan tapi pasti bisa teratasi secara sistimatis. Sekali lagi, nota keberhasilan model providence fund tak lepas dari peran pemerintah atau negara dalam mengefektifkan kebijakan rekonstruksi sosial-ekonominya.

Sumber: REPUBLIKA (Jum'at, 03 September 2004)

Tidak ada komentar: